Meski kereta api merupakan transportasi utama di negara maju seperti Amerika. Jepang, Inggris dan lainnya, namun di Indonesia, kereta api masih menjadi pilihan nomor sekian sebagai sarana transportasi. Masyarakat nampaknya masih belum menjadikan kereta api sebagai sarana terbaik, termurah dan tercepat untuk bepergian baik jarak jauh dan dekat.
Pembangunan MRT dan LRT yang semakin digalakkan saat ini memberi satu pertanyaan berat, mampukah kereta api menggeser fungsi kendaraan pribadi dan menjadi transportasi utama sehingga memberikan fungsi lebih dari apa yang ada saat ini?
Perkembangan Kereta Api di Indonesia
Kereta api merupakan salah satu sarana transportasi utama yang sudah ada sejak penjajahan Belanda. Hal ini dikarenakan banyaknya komoditas hasil bumi yang harus diperdagangkan, sehingga mau tidak mau pemerintah kolonial di Hindia Belanda harus membangun rel kereta api.
Setelah selesainya Perang Jawa (1825-1830), kendaraan darat tercepat dan mampu memuat banyak barang hanyalah kereta api. Penggunaan transportasi yang ditarik hewan tidak efisien apalagi untuk jarak jauh karena semakin cepat barang diangkut maka semakin cepat pula barang itu terjual. Sudah pasti dari penjualannya, pemerintah kolonial juga dapat banyak bagian.
Sebelum Tanam Paksa selesai pada 1870, jalur rel kereta api sudah mulai dibangun di Sumatera dan Jawa. Jalur-jalur itu mampu menghubungkan kota-kota di Pulau Jawa di awal-awal abad XX.
Jalur rel kereta api di Jawa biasanya dibangun tak jauh dari jalur jalan tanah yang lebih dulu ada dan termasuk di dalamnya Jalan Raya Pos yang merupakan mega proyek gila Deandels. Jalur kereta api ini melintasi kota-kota yang dilewati Jalan Raya Pos tersebut yakni kota-kota di Pantai Utara Jawa (Pantura) seperti Cirebon, Tegal, Brebes, Pekalongan, Semarang, Cepu, Bojonegoro, dan Lamongan. Nantinya ini merupakan kota-kota yang dilewati jalur kereta api jurusan Jakarta-Surabaya.
Kota-kota di pesisir selatan Jawa juga memiliki jalur rel kereta api sendiri. Kereta api jurusan Jakarta-Yogyakarta, Yogyakarta-Jember dan Yogyakarta Bandung nantinya akan melalui kota-kota di selatan Pulau Jawa itu.
Jalur-jalur kereta api yang tergolong panjang itu masih aktif sampai hari ini. Sementara untuk jalur pendek cenderung sepi dan banyak yang ditutup beserta stasiun-stasiunnya.
Peminat Kereta Api Indonesia Sangat Sedikit
Pengamat Perkeretapian Djoko Setijowarno mengatakan pemerintah pada masa lalu memang melupakan kereta sebagai transportasi massal yang penting. Kenyataannya pada periode Orde Baru, pemerintah lebih banyak membangun jalan.
“Pemerintah perhatian pada transportasi jalan, jadi imbasnya sampai sekarang,” kata Djoko.
Djoko mengungkapkan soal penyebab perhatian pemerintah fokus ke jalan karena pada periode itu khususnya tahun 1970-1980-an merupakan periode berkembangnya industri otomotif roda dua hingga roda empat, khususnya oleh industri Jepang.
Kondisi ini secara tak langsung berdampak pada nasib perkeretaapian yang mulai tersisihkan, karena publik mulai dikenalkan kendaraan pribadi yang produksinya secara massal.
“Jadi saat Orde Baru memang lebih fokus pada jalan. Indonesia dijajah industri otomotif,” katanya.
Djoko mengatakan faktanya, di negara-negara maju seperti Jepang, pada periode tersebut justru sedang gencar-gencarnya membangun transportasi umum seperti kereta. Sedangkan produk otomotif seperti sepeda motor justru tak laku di Jepang.
“Kendaraan-kendaraan tersebut tidak laku di negara asalnya, karena aturan yang ketat dan diberi kemudahan dapatkan transportasi umum,” kata Djoko.
Menurutnya sejak orde baru hingga kini, justru yang berkembang adalah industri otomotif. Produksi motor dan mobil terus bertambah, sehingga berdampak pada peningkatan konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM).
“Produksi sepeda motor naik dan ada kemudahan mendapatkan kredit murah,” katanya.
Menurutnya dengan adanya rencana Presiden Jokowi membangun kereta luar Jawa sangat positif untuk mengembangkan perkeretaapian di Indonesia. Ia beralasan sejak lama dari berbagai pergantian presiden, belum ada pemerintah yang fokus pada kereta api.
“Kalau pemerintahan yang sekarang lebih sadar dengan kereta api,” katanya.
Beberapa tahun terakhir, pemerintah dan PT Kereta Api Indonesia (KAI) berusaha menghidupkan kembali jalur-jalur kereta api yang hilang. Ini tentu saja bukan hal mudah karena banyak jalur rel dan stasiun yang rusak bahkan hilang.
Banyak Stasiun Terbengkalai dan Jalur Mati
Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mencatat ada sekitar 3.343 Kilometer (km) jalur kereta yang sudah lama tidak dipergunakan dari total 8.159 km atau sekitar 40%.
Kebanyakan rel-rel tersebut berada di Pulau Jawa dan sudah dibangun sejak zaman kolonial Belanda periode 1867-1930. Rentang periode 1970-an hingga 1990-an banyak rel kereta yang ditutup atau tak lagi dioperasikan oleh pemerintah. Sementara untuk Jawa dan Madura, menurut pakar transportasi Djoko Setijowarno, terdapat sekitar 2.140 km jalur kereta non aktif yang tersebar mulai Banten hingga Pulau Madura.
Di Pulau Jawa, setidaknya terdapat 91 jalur kereta api yang sudah mati. Di Sumatera terdapat 13 jalur yang tidak aktif lagi. Salah satu jalur panjang, yang dibangun Belanda, tetapi tak aktif lagi adalah Yogyakarta ke Secang di Pulau Jawa.
Rel-rel kereta api yang sudah ada sebelumnya itu tidak lagi aktif semua. Pemicunya karena sudah tidak ada lagi aktivitas pertambangan yang biasa menggunakan jalur rel pengangkut batu bara. Sedangkan, angkutan kereta penumpang yang berhenti operasi di Pulau Jawa karena sepinya peminat pada waktu itu.
Popularitas kereta api masih kalah dari bus angkutan umum kecil dan bus, yang setiap waktu selalu ada. Berbeda dengan kereta api yang datangnya hanya secara berkala. Sejumlah jalur akhirnya mati. Apalagi kemudian ada gempa yang membuat jalur-jalur kereta api itu rusak dan tidak bisa dilewati.
Saat ini, akses perjalanan melintasi Yogyakarta-Semarang sangatlah mudah. Di siang bolong angkutan umum seperti bis selalu melintasi jalan poros Yogyakarta-Semarang. Dulunya, kereta-kereta api dari Stasiun Tugu atau Lempuyangan di Yogyakarta lalu melewati halte-halte dan stasiun di kota kecamatan seperti Mlati, Beran, Medari, Tempel, Muntilan, Pabelan, Mertoyudan, Magelang kota, Payaman, Secang, Candi Umbul, Grabag, stasiun Bedono, Jambu, Ambarawa, Tuntang, Kedungjati lalu berakhir di stasiun Semarang. Sebelum jalur ini ditutup di tahun 1976, kereta api yang diaktifkan adalah Taruna Ekspres dan Borobudur Ekspres.
Jalur panjang kereta api yang tidak aktif selain yang melintasi kota-kota di antara Semarang dengan Yogyakarta adalah jalur Panjang-Prabumulih di Sumatera sepanjang 324 km melintasi Sumatera Selatan dan Lampung. Dari Prabumulih, kereta ini melintasi stasiun Peninjawan, Tigagajah, Baturaja, Martapura, Blambanganumpu, Negeri Agung, Negara Ratu, Kotabumi, Rengas, Branti, Tanjungkarang, Pidada dan berakhir Panjang. Di jalur ini biasanya kereta api pengangkut batubara dari Sumatra Selatan sering melintas untuk ke Pelabuhan Panjang.
Jalur-jalur pendek yang jumlahnya banyak kebanyakan telah mati. Di Daerah Istimewa Yogyakarta, dulu pernah ada kereta api dari hingga ke Palbapang, Kabupaten Bantul. Bekas-bekas jalur-jalurnya nyaris tak bersisa. Tidak aktifnya jalur, tentu berpengaruh pada aset vital KAI, yakni rel-rel yang mudah sekali untuk dicuri sebagai besi-besi tua kiloan. Di masa pendudukan Jepang, beberapa jalur rel kereta api yang dibangun orang-orang Belanda dengan keringat orang-orang Indonesia, dengan paksa dibongkar atas kehendak saudara Dai Nippon Jepang. Rel-rel tersebut lalu dipindahkan ke Birma.
Jalur kereta api yang tidak aktif tentu membuat stasiun-stasiunnya tidak aktif. Di jalur yang masih aktif pun, karena perjalanan rute jarak dekat sepi, beberapa stasiun yang di bangun lebih dari seabad silam itu mulai tidak terawat.
Stasiun tertua di Indonesia, Kemijen, termasuk yang sudah tidak aktif lagi. Stasiun di Semarang Timur itu dibuka sejak 1868, tetapi sudah ditutup pada 1914. Menurut bagian Pelestarian dan Aset PT KAI, terdapat 560 stasiun di Indonesia. Menurut data dari KAI juga, dari jumlah total stasiun tersebut 187 diantara non aktif. Umumnya adalah stasiun-stasiun kecil.
Di antara stasiun yang tidak aktif itu sudah rusak, hilang dan menjadi bangunan. Sejauh ini pihak KAI memang berusaha memugar puluhan museum. Dengan harapan bisa menjadi tempat wisata.
Di bekas jalur antara Semarang ke Yogyakarta, Stasiun Bedono jauh lebih beruntung nasibnya ketimbang Stasiun Beran, yang sudah jadi areal koramil. Di bekas areal stasiun Mertoyudan, di kiri di jalan poros antara Yogyakarta ke Magelang, saat ini hanya bisa ditemukan rumah-rumah penduduk. Tak jelas di mana bekas jalur relnya dulu terpancang. Sementara Stasiun Magelang Kota kini sudah menjadi areal terminal Kebon Polo.