SINDOTV – Belum lama ini, publik dibuat heboh atas munculnya draf Revisi Undang-Undang (RUU) No.32 Tahun 2022 tentang Penyiaran yang sedang bergulir di badan legislasi DPR RI. Hal ini menjadi polemik lantaran dianggap menghilangkan hak kebebasan pers karena beberapa hal, salah satunya larangan penayangan produk jurnalisme investigasi.
Salah satu kritik terhadap RUU Penyiaran misalnya tercermin dalam pasal yang saling tumpang tindih antara kewenangan Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) dan Dewan Pers sebagaimana diatur Pasal 8A huruf q dan Pasal 42 ayat (2). Ketentuan itu intinya memberi kewenangan Komiis Penyiaran Indonesia (KPI) untuk menangani sengketa pers.
Padahal, selama ini sengketa pers sudah sudah tepat ditangani Dewan Pers. Tak hanya itu, dalam pasal 51 huruf E RUU Penyiaran mengatur keputusan KPI terkait hasil sengketa itu dapat diajukan ke pengadilan. RUU Penyiaran yang saat ini digodok DPR berpotensi memberangus kebebasan pers dan hak publik atas informasi sebagaimana dijamin konstitusi.
Praktik sensor terhadap informasi yang ada dalam pemberitaan bisa menghambat proses penegakan hukum, seperti dalam kasus korupsi yang sedang berlangsung. Selain memuat ketentuan yang membuat Kewenangan KPI dan Dewan Pers saling tumpang tindih, RUU juga membatasi kewenangan KPI dalam mengatur tata kelola penyiaran.
Sebagai contoh, ada kewajiban bagi KPI untuk berkonsultasi dengan DPR. Ketentuan ini menjadi rawan digunakan anggota DPR untuk mengintervensi independensi KPI. Tak sampai di situ saja, salahs satu kebaruan dalam revisi UU Penyiaran ialah adanya kemungkinan untuk pelarangan produk jurnalisme berupa investigasi sebagaimana banyak dilakukan oleh Tempo, Narasi, hingga Project Multatuli.
Alhasil, apa yang tampak dari draf revisi ini justru terkesan menjadi pemunduran kebebasan pers pasca era reformasi. Peran pers sangat penting dalam sistem demokrasi dan penegakan hukum karena karya jurnalistik yang dihasilkan berperan juga sebagai whistleblower. Jika kebebasan pers dilucuti, peran jurnalis mengungkap informasi yang penting bagi publik bakal tertutup.
Komnas Perempuan dalam siaran pers yang diumumkan ke publik dengan tegas menolak revisi terhadap UU Penyiaran yang sedang digodok oleh DPR. Menurutnya, hal ini bisa berpotensi melanggengakan diskriminasi terhadap perempuan, kelompok minoritas lainnya dan masyarakat yang memiliki kerentanan menjadi korban kekerasan berbasis gender.
RUU Penyiaran juga menghalangi kebebasan berekspresi dan mengandung makna yang ambigu serta rentan mengkriminalisasi pendapat dan ekspresi perempuan dan Perempuan Pembela HAM.
Komisioner Veryanto Sitohang mengatakan bahwa isi dan konten siaran yang mengandung kesopanan, kepantasan, dan kesusilaan bisa memunculkan standar ganda dan akan membatasi kebebasan berekspresi masyarakat terutama perempuan yang dalam masyarakat patriarki dikonstruksikan sebagai satu-satunya pihak yang harus menjaga moral.
Merespons hal ini, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida mengatakan mereka bersama Dewan Pers tengah menyiapkan kajian soal permasalahan dalam RUU Penyiaran. Kajian bersama itu dilakukan merespons soal polemik Rancangan Perubahan UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran itu.
Secara terpisah, Meuya Hafid selaku Ketua Komisi I DPR RI menepis tudingan bahwa RUU) tersebut menghilangkan atau mengecilkan peran pers. “Tidak ada dan tidak pernah ada semangat ataupun niatan dari Komisi I DPR untuk mengecilkan peran pers,” kata Meutya dilansir oleh Hukum Online.
Dia menegaskan pula, Komisi I DPR menyadari bahwa keberlangsungan media yang sehat adalah penting. Bahkan, ia menegaskan, hubungan Komisi I DPR dengan Dewan Pers selaku mitra kerja, terjalin sinergis dan saling melengkapi, baik saat Dewan Pers diketuai oleh Bagir Manan (2010-2016), Mohammad Nuh (2019-2022), hingga Azyumardi Azra (2022).